Kalender Hijriyah

Hasil gambar untuk kalender hijriah 2017

MENGENAL KALENDER HIJRIYAH
(dan kalender-kalender yang berhubungan)

oleh
IRFAN ANSHORY


“Dia (Allah) yang menjadikan matahari memancarkan sinar dan bulan memantulkan cahaya, dan Dia menentukan tahap-tahap peredarannya agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan. Allah tidak menciptakan hal itu melainkan dengan kebenaran. Dia menjelaskan ayat-ayat-Nya bagi orang-orang yang berpengetahuan” (Al-Qur’an, Surat Yunus ayat 5).

MESKIPUN negara kita memakai kalender Masehi sebagai almanak resmi, kalender Hijriyah tidaklah mungkin diabaikan, sebab mayoritas bangsa kita memeluk agama Islam yang menggunakan kalender Hijriyah untuk menentukan puasa Ramadhan dan Idul Fitri, ibadah haji dan Idul Adha, masa iddah istri yang ditinggal suami, perhitungan zakat tahunan, dan sebagainya. Kenyataannya, sampai awal abad ke-20 kalender Hijriyah masih dipakai oleh kerajaan-kerajaan di Nusantara. Bahkan raja Karangasem Ratu Agung Ngurah yang beragama Hindu, dalam surat-suratnya kepada gubernur jenderal Hindia Belanda Otto van Rees yang beragama Nasrani, masih menggunakan tarikh 1313 Hijriyah (1894 Masehi). Kalender Masehi secara resmi dipakai di seluruh Indonesia mulai tahun 1910 dengan berlakunya Wet op het Nederlandsch Onderdaanschap, hukum yang menyeragamkan seluruh rakyat Hindia Belanda.


Jenis-jenis Kalender

Ada tiga jenis kalender yang dipakai umat manusia penghuni planet ini. Pertama, kalender solar (syamsiyah, berdasarkan matahari), yang waktu satu tahunnya adalah lamanya bumi mengelilingi matahari: 365 hari 5 jam 48 menit 46 detik atau 365,2422 hari. Kedua, kalender lunar (qamariyah, berdasarkan bulan), yang waktu satu tahunnya adalah dua belas kali bulan mengelilingi bumi: 29 hari 12 jam 44 menit 3 detik (29,5306 hari = 1 bulan) dikalikan dua belas, menjadi 354 hari 8 jam 48 menit 34 detik atau 354,3672 hari. Ketiga, kalender lunisolar, yaitu kalender lunar yang disesuaikan dengan matahari. Oleh karena kalender lunar dalam setahun 11 hari lebih cepat dari kalender solar, maka kalender lunisolar memiliki bulan interkalasi (bulan tambahan, bulan ke-13) setiap tiga tahun, agar kembali sesuai dengan perjalanan matahari.

Kalender Masehi, Iran dan Jepang merupakan kalender solar, sedangkan kalender Hijriyah dan Jawa merupakan kalender lunar. Adapun contoh kalender lunisolar adalah kalender Imlek, Saka, Buddha, dan Yahudi. Semua kalender tidak ada yang sempurna, sebab jumlah hari dalam setahun tidak bulat. Untuk memperkecil kesalahan, harus ada tahun-tahun tertentu menurut perjanjian yang dibuat sehari lebih panjang (tahun kabisat atau leap year).

Pada kalender solar pergantian hari berlangsung tengah malam (midnight) dan awal setiap bulan (tanggal satu) tidak tergantung pada posisi bulan. Adapun pada kalender lunar dan lunisolar pergantian hari terjadi ketika matahari terbenam (sunset) dan awal setiap bulan adalah saat konjungsi (Imlek, Saka, dan Buddha) atau saat munculnya hilal (Hijriyah, Jawa, dan Yahudi). Oleh karena awal bulan kalender Imlek dan Saka adalah akhir bulan kalender Hijriyah, tanggal kalender Imlek dan Saka umumnya sehari lebih dahulu (kadang-kadang dua hari, jika hilal ternyata masih di bawah ufuk) dari tanggal kalender Hijriyah.


Kalender Arab Pra-Islam


Sebelum kedatangan agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad s.a.w., masyarakat Arab memakai kalender lunisolar, yaitu kalender lunar yang disesuaikan dengan matahari. Tahun baru (Ra’s as-Sanah = “Kepala Tahun”) berlangsung setelah berakhirnya musim panas sekitar September. Bulan pertama dinamai Muharram, sebab pada bulan itu semua suku atau kabilah di Semenanjung Arabia sepakat untuk mengharamkan peperangan. Pada bulan Oktober daun-daun menguning sehingga bulan itu dinamai Shafar (“kuning”). Bulan November dan Desember pada musim gugur (rabi`) berturut-turut dinamai Rabi`ul-Awwal dan Rabi`ul-Akhir. Januari dan Februari adalah musim dingin (jumad atau “beku”) sehingga dinamai Jumadil-Awwal dan Jumadil-Akhir. Kemudian salju mencair (Rajab) pada bulan Maret.

Bulan April di musim semi merupakan bulan Sya`ban (syi`b = lembah), saat turun ke lembah-lembah untuk mengolah lahan pertanian atau menggembala ternak. Pada bulan Mei suhu mulai membakar kulit, lalu suhu meningkat pada bulan Juni. Itulah bulan-bulan Ramadhan (“pembakaran”) dan Syawwal (“peningkatan”). Bulan Juli merupakan puncak musim panas yang membuat orang lebih senang duduk di rumah daripada bepergian, sehingga bulan ini dinamai Dzul-Qa`dah (qa`id = duduk). Akhirnya, Agustus dinamai Dzul-Hijjah, sebab pada bulan itu masyarakat Arab menunaikan ibadah haji ajaran nenek moyang mereka, Nabi Ibrahim a.s.

Setiap bulan diawali saat munculnya hilal, berselang-seling 30 atau 29 hari, sehingga 354 hari setahun, 11 hari lebih cepat dari kalender solar yang setahunnya 365 hari. Agar kembali sesuai dengan perjalanan matahari dan agar tahun baru selalu jatuh pada awal musim gugur, maka dalam setiap periode 19 tahun ada tujuh buah tahun yang jumlah bulannya 13 (satu tahunnya 384 hari). Bulan interkalasi atau bulan ekstra ini disebut nasi’ yang ditambahkan pada akhir tahun sesudah Dzul-Hijjah.

Ternyata tidak semua kabilah di Semenanjung Arabia sepakat mengenai tahun mana saja yang mempunyai bulan nasi’. Masing-masing kabilah seenaknya menentukan bahwa tahun yang satu 13 bulan dan tahun yang lain cuma 12 bulan. Lebih celaka lagi jika suatu kaum memerangi kaum lainnya pada bulan Muharram (bulan terlarang untuk berperang) dengan alasan perang itu masih dalam bulan nasi’, belum masuk Muharram, menurut kalender mereka. Akibatnya, masalah bulan interkalasi ini banyak menimbulkan permusuhan di kalangan masyarakat Arab yang saat itu masih dalam suasana jahiliyah.


Pemurnian Kalender Lunar
Setelah masyarakat Arab memeluk agama Islam dan bersatu di bawah pimpinan Nabi Muhammad s.a.w., maka turunlah perintah Allah SWT agar umat Islam memakai kalender lunar yang murni dengan menghilangkan bulan nasi’. Hal ini tercantum dalam kitab suci Al-Qur’an Surat at-Taubah ayat 36 dan 37:

“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketentuan Allah ketika Dia menciptakan langit dan bumi, empat daripadanya bulan-bulan haram (Dzul-Qa`dah, Dzul-Hijjah, Muharram, Rajab). Itulah keputusan yang lurus (sesuai peredaran benda langit). Maka janganlah kamu menganiaya dirimu (dengan berperang) pada bulan-bulan haram itu. Dan (jika bulan-bulan haram telah lewat) perangilah kaum musyrikin seutuhnya sebagaimana mereka memerangimu secara utuh pula. Ketahuilah bahwa Allah menyertai orang-orang yang bertaqwa.

Sesungguhnya bulan nasi’ (interkalasi) hanyalah tambahan bagi kekafiran. Orang-orang kafir tersesat oleh bulan nasi’ itu. Mereka menghalalkan tahun yang satu dan mengharamkan tahun yang lain untuk memanipulasi bilangan bulan yang diharamkan Allah, sehingga mereka menghalalkan (perang) yang diharamkan Allah. Dihiaskan kepada mereka keburukan perbuatan mereka. Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang kafir.”

Dengan turunnya wahyu Allah di atas, maka Nabi Muhammad s.a.w. mengeluarkan dekrit bahwa kalender Islam tidak lagi tergantung kepada perjalanan matahari. Hal ini lebih dipertegas dalam khutbah Nabi di Arafah tatkala beliau menunaikan haji. Meskipun nama-nama bulan dari Muharram sampai Dzul-Hijjah tetap digunakan karena sudah populer pemakaiannya, bulan-bulan tersebut bergeser setiap tahun dari musim ke musim, sehingga Ramadhan (“pembakaran”) tidak selalu pada musim panas dan Jumadil-Awwal (“beku pertama”) tidak selalu pada musim dingin.

Mengapa harus kalender lunar murni? Hal ini disebabkan agama Islam bukanlah hanya untuk masyarakat Arab di Timur Tengah saja, melainkan untuk seluruh umat manusia di berbagai penjuru bumi yang letak geografis dan musimnya berbeda-beda. Sangatlah tidak adil jika misalnya Ramadhan (bulan menunaikan ibadah puasa) ditetapkan menurut sistem kalender solar atau lunisolar, sebab hal ini mengakibatkan masyarakat Islam di suatu kawasan berpuasa selalu di musim panas atau selalu di musim dingin. Sebaliknya, dengan memakai kalender lunar yang murni, masyarakat Kazakhstan atau umat Islam di London berpuasa 16 jam di musim panas, tetapi berbuka puasa pukul empat sore di musim dingin. Umat Islam yang menunaikan ibadah haji pada suatu saat merasakan teriknya matahari Arafah di musim panas, dan pada saat yang lain merasakan sejuknya udara Makkah di musim dingin.


Perhitungan Tahun HijriyahPada masa Nabi Muhammad s.a.w. penyebutan tahun tidaklah memakai angka melainkan berdasarkan suatu peristiwa yang dianggap penting pada tahun tersebut. Misalnya, Nabi Muhammad s.a.w. lahir tanggal 12 Rabi`ul-Awwal Tahun Gajah (`Am al-Fil), sebab pada tahun tersebut pasukan bergajah raja Abrahah dari Yaman berniat menyerang Ka`bah. Nabi Muhammad s.a.w. mengalami Isra’ dan Mi`raj tanggal 27 Rajab Tahun Dukacita (`Am al-Huzn), sebab pada tahun itu Khadijah (istri Nabi) dan Abu Talib (paman Nabi) wafat. Kelahiran Nabi dan peristiwa Isra’-Mi`raj masing-masing bertepatan dengan tanggal 23 April 571 dan 27 Februari 621 Masehi.

Ketika Nabi Muhammad s.a.w. wafat tahun 632, kekuasaan Islam baru meliputi Semenanjung Arabia. Tetapi pada masa Khalifah Umar ibn Khattab (634-644) kekuasaan Islam meluas dari Mesir sampai Persia. Pada tahun 638, gubernur Iraq Abu Musa al-Asy`ari berkirim surat kepada Khalifah Umar di Madinah, yang isinya antara lain: “Surat-surat kita memiliki tanggal dan bulan, tetapi tidak berangka tahun. Sudah saatnya umat Islam membuat tarikh sendiri dalam perhitungan tahun.”

Khalifah Umar ibn Khattab menyetujui usul gubernurnya ini. Terbentuklah panitia yang diketuai Khalifah Umar sendiri dengan anggota enam Sahabat Nabi terkemuka, yaitu Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Talib, Abdurrahman ibn Auf, Sa`ad ibn Abi Waqqas, Talhah ibn Ubaidillah, dan Zubair ibn Awwam. Mereka bermusyawarah untuk menentukan Tahun Satu dari kalender yang selama ini digunakan tanpa angka tahun. Ada yang mengusulkan perhitungan dari tahun kelahiran Nabi (`Am al-Fil, 571 M), dan ada pula yang mengusulkan tahun turunnya wahyu Allah yang pertama (`Am al-Bi’tsah, 610 M). Tetapi akhirnya yang disepakati panitia adalah usul dari Ali ibn Abi Talib, yaitu tahun berhijrahnya kaum Muslimin dari Makkah ke Madinah (`Am al-Hijrah, 622 M).

Ali ibn Abi Talib mengemukakan tiga argumentasi. Pertama, dalam Al-Qur’an sangat banyak penghargaan Allah bagi orang-orang yang berhijrah (al-ladziina haajaruu). Kedua, masyarakat Islam yang berdaulat dan mandiri baru terwujud setelah hijrah ke Madinah. Ketiga, umat Islam sepanjang zaman diharapkan selalu memiliki semangat hijrah, yaitu jiwa dinamis yang tidak terpaku pada suatu keadaan dan ingin berhijrah kepada kondisi yang lebih baik.

Maka Khalifah Umar ibn Khattab mengeluarkan keputusan bahwa tahun hijrah Nabi adalah Tahun Satu, dan sejak saat itu kalender umat Islam disebut Tarikh Hijriyah. Tanggal 1 Muharram 1 Hijriyah bertepatan dengan hari Jum’at 16 Tammuz 622 Rumi (16 Juli 622 Masehi). Tahun keluarnya keputusan Khalifah itu (638 M) langsung ditetapkan sebagai tahun 17 Hijriyah. Dokumen tertulis bertarikh Hijriyah yang paling awal (mencantumkan Sanah 17 = Tahun 17) adalah Maklumat Keamanan dan Kebebasan Beragama dari Khalifah Umar ibn Khattab kepada seluruh penduduk kota Aelia (Jerusalem) yang baru saja dibebaskan laskar Islam dari penjajahan Romawi.


Sistem Kalender Hijriyah

Dari Muharram sampai Dzulhijjah, setiap bulan 30 atau 29 hari sehingga 354 hari setahun. Dalam setiap siklus 30 tahun, 11 tahun adalah kabisat (Dzul-Hijjah dijadikan 30 hari), yaitu tahun-tahun ke-2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26 dan 29. Awal bulan (tanggal satu) ditandai dengan munculnya hilal (sehari atau dua hari sesudah konjungsi), yang dapat ditentukan dengan metode hisab (perhitungan astronomis) atau metode ru’yah (menyaksikan hilal dengan mata).

Dalam tahun 2008 Masehi terdapat dua kali tahun baru Hijriyah. Pada 10 Januari 2008, kita memulai tahun baru 1 Muharram 1429 Hijriyah, tahun ke-19 dalam siklus 1411-1440. Sebelum tahun 2008 berakhir, umat Islam merayakan tahun baru lagi, sebab tanggal 1 Muharram 1430 Hijriyah jatuh pada 29 Desember 2008.

Oleh karena peredaran bulan adalah sesuatu yang eksak, maka awal puasa dan Idul-Fitri pada masa mendatang sudah dapat kita hitung secara ilmiah! Kita akan memulai ibadah puasa Ramadhan tanggal 1 September 2008 dan merayakan Idul-Fitri tanggal 1 Oktober 2008. Kemudian kita akan berpuasa Ramadhan lagi mulai 22 Agustus 2009, lalu berlebaran pada 20 September 2009. Selanjutnya kita bertemu Ramadhan lagi tanggal 11 Agustus 2010 dan Idul-Fitri akan jatuh pada 10 September 2010. Mudah-mudahan nanti tidak ada perbedaan antara hisab dan ru’yah!

Setiap 32 atau 33 tahun, dalam satu tahun Masehi terjadi dua kali Idul-Fitri (awal Januari dan akhir Desember) seperti pada tahun 2000 yang lalu. Para pegawai memperoleh THR dua kali, serta Idul-Fitri berdekatan dengan Tahun Baru Masehi. Fenomena ini pernah terjadi pada tahun 1870, 1903, 1935, 1968, dan akan berlangsung lagi tahun 2033, 2065, 2098, 2130, dan seterusnya.


Konversi Kalender Hijriyah ke Masehi

1 Muharram 100 H = 3 Agustus 718 M
1 Muharram 200 H = 11 Agustus 815 M
1 Muharram 300 H = 18 Agustus 912 M
1 Muharram 400 H = 25 Agustus 1009 M
1 Muharram 500 H = 2 September 1106 M
1 Muharram 600 H = 10 September 1203 M
1 Muharram 700 H = 17 September 1300 M
1 Muharram 800 H = 24 September 1397 M
1 Muharram 900 H = 2 Oktober 1494 M
1 Muharram 1000 H = 18 Oktober 1591 M
1 Muharram 1100 H = 26 Oktober 1688 M
1 Muharram 1200 H = 4 November 1785 M
1 Muharram 1300 H = 12 November 1882 M
1 Muharram 1400 H = 21 November 1979 M
1 Muharram 1500 H = 29 November 2076 M

Oleh karena 32 tahun Masehi = 33 tahun Hijriyah (97 tahun Masehi = 100 tahun Hijriyah), maka konversi tahun Hijriyah ke tahun Masehi atau sebaliknya dapat dilakukan dengan memakai rumus:

M = 32/33 H + 622
H = 33/32 ( M – 622 )
Kalender Hijriyah setiap tahun 11 hari lebih cepat dari kalender Masehi, sehingga selisih angka tahun dari kedua kalender ini lambat laun makin mengecil. Angka tahun Hijriyah pelan-pelan ‘mengejar’ angka tahun Masehi, dan menurut rumus di atas keduanya akan bertemu pada tahun 20526 Masehi yang bertepatan dengan tahun 20526 Hijriyah. Saat itu kita entah sudah berada di mana. “Perhatikanlah waktu! Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian...” demikian pesan suci Al-Qur’an.


Kalender Saka

Sebelum membahas kalender Hijriyah-Jawa, ada baiknya kita membahas dahulu kalender Saka yang dipakai nenek moyang kita sewaktu masih memeluk agama Hindu. Kalender Saka dimulai tahun 78 Masehi ketika kota Ujjayini (Malwa di India sekarang) direbut oleh kaum Saka (Scythia) di bawah pimpinan Maharaja Kaniska dari tangan kaum Satavahana.

Tahun baru terjadi pada saat Minasamkranti (matahari pada rasi Pisces) awal musim semi. Nama-nama bulan adalah Caitra, Waisaka, Jyestha, Asadha, Srawana, Bhadrawada, Aswina (Asuji), Kartika, Margasira, Posya, Magha, Phalguna. Kalender Saka merupakan kalender lunisolar. Agar sesuai kembali dengan matahari, bulan Asadha dan Srawana diulang secara bergiliran setiap tiga tahun dengan nama Dwitiya Asadha dan Dwitiya Srawana.

Awal setiap bulan adalah saat bulan mati (konjungsi), sehingga tanggal kalender Saka umumnya lebih dahulu sehari dari tanggal kalender Hijriyah yang diawali munculnya hilal. Setiap bulan dibagi menjadi dua bagian yaitu suklapaksa (paro terang, dari bulan mati sampai purnama) dan kresnapaksa (paro gelap, dari selepas purnama sampai menjelang bulan mati). Masing-masing bagian berjumlah 15 atau 14 hari (tithi). Jadi kalender Saka tidak mempunyai tanggal 16. Misalnya, tithi pancami suklapaksa adalah tanggal lima, sedangkan tithi pancami kresnapaksa adalah tanggal dua puluh.

Konsep sunya (kosong) dalam ajaran Hindu mendasari kalender Saka untuk menghitung tahun dari Nol. Tanggal 1 Caitra tahun Nol bertepatan dengan tanggal 14 Maret 78. Tahun baru 1 Caitra 1930 jatuh pada tanggal 7 Maret 2008. Di Indonesia kita mengenal tahun baru Saka sebagai Hari Raya Nyepi.

Di daratan Asia Tenggara, dari Myanmar sampai Vietnam, berlaku kalender Buddha yang menghitung tahun dari 544 SM, tahun Siddharta Gautama dilahirkan. Sistem kalendernya sama dengan kalender Saka. Tahun baru 2552 jatuh pada tanggal 7 Maret 2008. Tetapi tanggal yang dimuliakan umat Buddha bukanlah tahun baru, melainkan malam purnama bulan Waisaka, saat kelahiran dan pencerahan Sang Buddha. Itulah Hari Raya Waisak yang tahun ini jatuh pada tanggal 20 Mei 2008.


Kalender Hijriyah-JawaKalender Saka dipakai di Jawa sampai awal abad ke-17. Kesultanan Demak, Banten, dan Mataram menggunakan kalender Saka dan kalender Hijriyah secara bersama-sama. Pada tahun 1633 Masehi (1555 Saka atau 1043 Hijriyah), Sultan Agung Ngabdurahman Sayidin Panotogomo Molana Matarami (1613-1645) dari Mataram menghapuskan kalender lunisolar Saka dari Pulau Jawa, lalu menciptakan Kalender Jawa yang mengikuti kalender lunar Hijriyah. Cuma bilangan tahun 1555 tetap dilanjutkan. Jadi 1 Muharram 1043 Hijriyah adalah 1 Muharam 1555 Jawa, yang jatuh pada hari Jum`at Legi (Sweet Friday) tanggal 8 Juli 1633 Masehi. Angka tahun Jawa selalu berselisih 512 dari angka tahun Hijriyah. Keputusan Sultan Agung ini disetujui dan diikuti oleh Sultan Abul-Mafakhir Mahmud Abdulkadir (1596-1651) dari Banten. Dengan demikian kalender Saka tamat riwayatnya di seluruh Jawa, dan digantikan oleh kalender Jawa yang sangat bercorak Islam dan sama sekali tidak lagi berbau Hindu atau budaya India.

Nama-nama bulan disesuaikan dengan lidah Jawa: Muharam, Sapar, Rabingulawal, Rabingulakir, Jumadilawal, Jumadilakir, Rejeb, Saban, Ramelan, Sawal, Dulkangidah, Dulkijah. Muharram juga disebut bulan Sura sebab mengandung Hari Asyura 10 Muharram. Rabi`ul-Awwal dijuluki bulan Mulud, yaitu bulan kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. Rabi`ul-Akhir adalah Bakdamulud atau Silihmulud, artinya “sesudah Mulud”. Sya`ban merupakan bulan Ruwah, saat mendoakan arwah keluarga yang telah wafat, dalam rangka menyambut bulan Pasa (puasa Ramadhan). Dzul-Qa`dah disebut Hapit atau Sela sebab terletak di antara dua hari raya. Dzul-Hijjah merupakan bulan Haji atau Besar (Rayagung), saat berlangsungnya ibadah haji dan Idul Adha.

Nama-nama hari dalam bahasa Sansekerta (Raditya, Soma, Anggara, Budha, Brehaspati, Sukra, Sanaiscara) yang berbau jahiliyah (penyembahan benda-benda langit) juga dihapuskan oleh Sultan Agung, lalu diganti dengan nama-nama hari dalam bahasa Arab yang disesuaikan dengan lidah Jawa: Ahad, Senen, Seloso, Rebo, Kemis, Jumuwah, Saptu. Tetapi hari-hari pancawara (Pahing, Pon, Wage, Kaliwuan, Umanis atau Legi) tetap dilestarikan, sebab hal ini merupakan konsep asli masyarakat Jawa, bukan diambil dari kalender Saka atau budaya India.

Dalam setiap siklus satu windu (delapan tahun), tanggal 1 Muharam (Sura) berturut-turut jatuh pada hari ke-1, ke-5, ke-3, ke-7, ke-4, ke-2, ke-6 dan ke-3. Itulah sebabnya tahun-tahun Jawa dalam satu windu dinamai berdasarkan numerologi huruf Arab: Alif (1), Ha (5), JimAwwal (3), Zai (7), Dal (4), Ba (2), Waw (6) dan Jim Akhir (3). Sudah tentu pengucapannya menurut lidah Jawa: Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu dan Jimakir. Tahun-tahun EheDal dan Jimakir ditetapkan sebagai kabisat. Jumlah hari dalam satu windu adalah (354 x 8) + 3 = 2835 hari, angka yang habis dibagi 35 (7 x 5). Itulah sebabnya setiap awal windu (1 Muharam tahun Alip) selalu jatuh pada hari dan pasaran yang sama.

Menarik untuk dicatat bahwa jika umat Islam di luar Jawa hanya mengenal Senin 12 Rabi`ul-Awwal sebagai hari dan tanggal kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. maka umat Islam di Jawa menyebutkan saat lahirnya Junjungan kita yang mulia itu secara lebih komplit: Senin Pon 12 Rabingulawal (Mulud) Tahun Dal.

Oleh karena kabisat Jawa tiga dari delapan tahun (3/8 = 45/120), sedangkan kabisat Hijriyah 11 dari 30 tahun (11/30 = 44/120), maka dalam setiap 15 windu (120 tahun), yang disebut satu kurup, kalender Jawa harus hilang satu hari, agar kembali sesuai dengan kalender Hijriyah. Sebagai contoh, kurup pertama berlangsung dari Jum`at Legi 1 Muharam tahun Alip 1555 sampai Kamis Kliwon 30 Dulkijah tahun Jimakir 1674. Di sini 30 Dulkijah dihilangkan. Dengan demikian Rabu Wage 29 Dulkijah tahun Jimakir 1674 akhir kurup pertama langsung diikuti oleh awal kurup kedua Kamis Kliwon 1 Muharam tahun Alip 1675. Jadi, awal windu (1 Muharam tahun Alip) bergeser dari Jum`at Legi menjadi Kamis Kliwon. Setelah 120 tahun berikutnya, awal windu harus bergeser lagi menjadi Rabu Wage, kemudian pada gilirannya menjadi Selasa Pon, dan seterusnya.

Setiap kurup (periode 120 tahun) dinamai menurut hari pertamanya. Periode 1555-1674 (1633-1749 Masehi) disebut kurup jamngiah (Awahgi = tahun Alip mulai Jumuwah Legi), kemudian periode 1675-1794 (1749-1866 Masehi) disebut kurup kamsiah (Amiswon = Alip-Kemis-Kliwon), dan periode 1795-1914 (1866-1982 Masehi) disebut kurup arbangiah (Aboge = Alip-Rebo-Wage).

Sejak tanggal 1 Muharam tahun Alip 1915 (1 Muharram 1403 Hijriyah) yang bertepatan dengan tanggal 19 Oktober 1982, kita berada dalam kurup salasiah (Asopon = Alip-Seloso-Pon), yaitu periode 1915-2034 Jawa (1982-2099 Masehi), di mana setiap tanggal 1 Muharam tahun Alip pasti jatuh pada hari Selasa Pon.

1 Muharam Alip 1939 (1427 H) = Selasa Pon 31 Januari 2006
1 Muharam Ehe 1940 (1428 H) = Sabtu Pahing 20 Januari 2007
1 Muharam Jimawal 1941(1429 H)=Kamis Pahing 10 Januari 2008
1 Muharam Je 1942 (1430 H) = Senin Legi 29 Desember 2008
1 Muharam Dal 1943 (1431 H) = Jumat Kliwon 18 Desember 2009
1 Muharam Be 1944 (1432 H) = Rabu Kliwon 8 Desember 2010
1 Muharam Wawu 1945 (1433 H) = Ahad Wage 27 November 2011
1 Muharam Jimakir 1946(1434 H)=Kamis Pon 15 November 2012

1 Muharam Alip 1947 (1435 H) = Selasa Pon 5 November 2013
1 Muharam Ehe 1948 (1436 H) = Sabtu Pahing 25 Oktober 2014
1 Muharam Jimawal 1949(1437 H)=KamisPahing 15 Oktober 2015
1 Muharam Je 1950 (1438 H) = Senin Legi 3 Oktober 2016
1 Muharam Dal 1951 (1439 H) = Jumat Kliwon 22 September 2017
1 Muharam Be 1952 (1440 H) = Rabu Kliwon 12 September 2018
1 Muharam Wawu 1953 (1441 H) = Ahad Wage 1 September 2019
1 Muharam Jimakir 1954 (1442 H) = Kamis Pon 20 Agustus 2020

1 Muharam Alip 1955 (1443 H) = Selasa Pon 10 Agustus 2021
1 Muharam Ehe 1956 (1444 H) = Sabtu Pahing 30 Juli 2022
1 Muharam Jimawal 1957(1445 H)=Kamis Pahing 20 Juli 2023
1 Muharam Je 1958 (1446 H) = Senin Legi 8 Juli 2024
1 Muharam Dal 1959 (1447 H) = Jumat Kliwon 27 Juni 2025
1 Muharam Be 1960 (1448 H) = Rabu Kliwon 17 Juni 2026
1 Muharam Wawu 1961 (1449 H) = Ahad Wage 6 Juni 2027
1 Muharam Jimakir 1962 (1450 H) = Kamis Pon 25 Mei 2028


Kalender Pranata Mangsa

Di samping kalender Jawa yang identik dengan kalender Hijriyah, masyarakat Jawa mengenal juga kalender solar Pranata Mangsa (“Pengaturan Bulan”) yang diciptakan Sunan Paku Buwana VII (1830-1858) dari Surakarta tahun 1855. Kalender Pranata Mangsa berawal tanggal 22 Juni dan disusun berdasarkan musim yang berlaku di Pulau Jawa! Itulah sebabnya jumlah hari dalam setiap bulan sangat bervariasi: Kasa (41 hari, dari 22 Juni), Karo atau Kalih (23 hari, dari 2 Agustus), Katelu atau Katiga (24 hari, dari 25 Agustus), Kapat (25 hari, dari 18 September), Kalima (27 hari, dari 13 Oktober), Kanem (43 hari, dari 9 November), Kapitu (43 hari, dari 22 Desember), Kawalu (26 atau 27 hari, dari 3 Februari), Kasanga (25 hari, dari 1 Maret), Kadasa atau Kasapuluh (24 hari, dari 26 Maret), Desta atau Hapit Lemah (23 hari, dari 19 April), serta Sada atau Hapit Kayu (41 hari, dari 12 Mei). Kalender Pranata Mangsa digunakan para petani hanya untuk menentukan musim tanam dan musim panen, dan jarang digunakan untuk menghitung waktu sehari-hari.


Kalender Sunda
Seorang budayawan Sunda, Ali Sastramidjaja (Abah Ali), pada awal tahun 2005 memperkenalkan Kala Sunda, kalender lunar Sunda yang memulai perhitungan sejak tahun 122 Masehi. Sistem perhitungan Kala Sunda persis sama seperti Hijriyah-Jawa. Dalam sewindu ada tiga tahun kabisat, sehingga jika misalnya awal windu (indung poé) Ahad Manis, maka awal windu selanjutnya Ahad Manis juga. Setiap 120 tahun satu hari dihilangkan, sehingga indung poé bergeser dari Ahad Manis menjadi Sabtu Kliwon, kemudian pada gilirannya menjadi Jumat Wage, dan seterusnya.

Nama-nama bulan (Kartika, Margasira, Posya, Maga, Palguna, Setra, Wesaka, Yesta, Asada, Srawana, Badra, Asuji), nama-nama hari (Radite, Soma, Anggara, Buda, Respati, Sukra, Tumpek), serta pembagian bulan menjadi suklapaksa dan kresnapaksa sehingga tidak ada tanggal 16, semuanya itu diambil dari kalender Saka, kecuali nama hari Tumpek (Sabtu) yang asli Sunda. Tetapi berbeda dengan kalender Saka, Kala Sunda menetapkan tanggal satu saat bulan berwujud setengah lingkaran. Istilah Sansekerta suklapaksa (paroterang), yang pada kalender Saka berarti “separo bulan (half-month) sampai purnama”, pada Kala Sunda mempunyai arti lain yaitu “bulan terlihat separo (half-moon)”. Perbedaan lain: Kartika, bulan ke-8 kalender Saka, menjadi bulan pertama dalam Kala Sunda.

Hari-hari pasaran (pancawara) dalam Kala Sunda berselisih dua hari dengan kalender Jawa, misalnya Manis (Legi) dalam kalender Jawa menjadi Pon dalam Kala Sunda. Jika dalam kalender Jawa tahun dalam sewindu ditandai menurut numerologi huruf Arab (Alif-Ba-Jim-Dal-Ha-Waw-Zai), dalam Kala Sunda ditandai dengan nama hewan: Kebo (1), Keuyeup (2), Hurang (3), Embé (4), Monyét (5), Cacing (6), dan Kalabang (7).

Sekarang merupakan tunggul taun ke-17, periode 1921-2040 Kala Sunda (1985-2102 Masehi), di mana indung poé (1 Suklapaksa bulan Kartika Tahun Kebo) selalu jatuh pada hari Tumpek (Sabtu) Kaliwon. Kini kita berada dalam Tahun Hurang 1944 yang dimulai pada tanggal 17 Desember 2007.

Tahun baru (pabaru) Kala Sunda untuk satu windu mendatang adalah sebagai berikut:
1945 Kebo = Sabtu 6 Desember 2008
1946 Monyét = Rabu 25 November 2009
1947 Hurang = Senin 15 November 2010
1948 Kalabang = Jumat 4 November 2011
1949 Embé = Selasa 23 Oktober 2012
1950 Keuyeup = Ahad 13 Oktober 2013
1951 Cacing = Kamis 2 Oktober 2014
1952 Hurang = Senin 21 September 2015


Kalender Hijriyah Solar

Ditinjau dari hubungan terhadap kalender Hijriyah, kalender Jawa berkebalikan dengan kalender Iran (Persia). Jika di Jawa kalender mengikuti Hijriyah tetapi angka tahun tidak berubah, maka di Iran kalender tidak berubah tetapi angka tahun dihitung dari hijrah Nabi. Jadi kalender Iran adalah kalender Hijriyah Solar (kalender Hijriyah dengan perhitungan matahari). Selain berlaku di Iran, kalender ini juga dipakai di Afghanistan dan Tajikistan sebagai sesama rumpun bangsa Persia.

Kalender Iran diciptakan Raja Cyrus tahun 530 SM, dan dibuat lebih akurat pada awal abad ke-12 oleh ahli matematika dan astronomi yang juga sastrawan, Umar Khayyam (1048-1122). Tahun baru (Nawruz) selalu jatuh pada awal musim semi. Nama-nama bulan adalah Farwardin, Ordibehest, Khordad, Tir, Mordad, Shahriwar, Mehr, Aban, Azar, Dey, Bahman, Esfand. Enam bulan pertama 31 hari dan lima bulan berikutnya 30 hari. Bulan terakhir, Esfand, 29 hari (tahun biasa) atau 30 hari (tahun kabisat yang empat tahun sekali).

Dibandingkan dengan kalender solar yang lain, kalender Iran paling cocok dengan musim. Tanggal 1 Farwardin selalu 21 Maret (awal musim semi), tanggal 1 Tir selalu 22 Juni (awal musim panas), tanggal 1 Mehr selalu 23 September (awal musim gugur), dan tanggal 1 Dey selalu 22 Desember (awal musim dingin).

Setelah bangsa Iran memeluk agama Islam, tahun hijrah Nabi (622 M) dijadikan Tahun Satu, tetapi kalender tetap berdasarkan matahari. Tahun baru 1 Farwardin 1387 Hijriyah Solar jatuh pada 21 Maret 2008.


Khatimah
Marilah kita umat Islam membiasakan diri untuk menggunakan tarikh Hijriyah (di samping tarikh Masehi) dalam catatan harian, surat-surat, hari lahir anggota keluarga, dan sebagainya. Banyak di antara kita yang mungkin belum tahu bahwa proklamasi kemerdekaan bangsa dan negara Republik Indonesia berlangsung pada hari Jum`at Legi tanggal 9 Ramadhan 1364 Hijriyah atau 9 Ramelan (Pasa) Ehe 1876, yang bertepatan dengan tanggal 17 Agustus 1945 Masehi.***

sumber: http://irfananshory.blogspot.com/2008/01/kalender-hijriyah.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SIGER LAMPUNG PESISIR

GAMBUS LUNIK

Manuskrip Kitab 'Kuntara Raja Niti', Khazanah yang Hampir Punah